Limun, sebutan untuk minuman ringan berkarbonasi yang pernah merajai rak-rak toko kelontong dan rumah makan puluh tahun silam. Saya sebagai generasi penikmat masa-masa indah ’90-an boleh dibilang kenyang menyesap manisnya berbotol-botol limun. Sayang seiring dengan perkembangan zaman dan ekspansi besar-besaran dari pabrik minuman bersoda buatan Amerika, sebagian besar pabrik limun di Indonesia tak mampu bersaing dalam kemajuan alat produksi dan tekanan harga jual.
Setahu saya, hampir semua pabrik limun di kota-kota besar Indonesia dikabarkan guling tikar. Lidah anak-anak muda pun mulai terlena dengan produk lebih baru dengan pemasaran melalui ragam iklan yang selalu mengundang perhatian masyarakat. Lambat laun mereka meninggalkan minuman ringan yang dianggap tidak kekinian lagi. Bahkan bekas pabrik limun di kota saya sendiri sudah rata dengan tanah.
Nyaris tak percaya ketika seorang kawan membenarkan bahwa di kawasan Jetayu, Kota Pekalongan masih memiliki sebuah pabrik limun aktif dengan nama Pabrik Limun Oriental. Untuk membuktikannya, siang itu mas Trias, aktivis Akademi Berbagi Pekalongan, mengajak saya dan Aan, penulis di alfianwidi.com untuk melihat lebih dekat proses pembuatan limun. Saya diajak bernostalgia merasakan kembali kesegaran rasa limun yang sudah pudar dari ingatan.
Lokasi pabrik Limun Oriental persis berada di belakang Rutan Lodjie atau rumah tahanan yang dulu sempat dikenal sebagai bekas benteng yang dibangun oleh VOC sekitar tahun 1753 dengan nama Fort Peccalongan. Jika jalan kaki dari Museum Batik Pekalongan pun tak terlalu jauh, hanya berjarak sekian puluh meter saja.
Boleh dibilang Pabrik Limun Oriental ini punya posisi strategis di tengah kota. Kejutannya, pabrik limun berumur hampir seratus tahun tersebut berdampingan dengan rumah pemiliknya yang masih mempertahankan gaya bangunan perpaduan kolonial dan Tionghoa. Lalu teras depan rumahnya sudah disulap menjadi sebuah kafe sederhana dengan beberapa perabotan bernuansa vintage.
Pabrik Limun Oriental adalah nama pabrik limun di Pekalongan yang didirikan oleh Njo Giok Liem pada tahun 1923. Limun yang diproduksinya merupakan hasil campuran air sari buah, asam sitrat, dan uap dari racikan CO2. Dengan proses pemanfaatan uap itulah hasil karbonasi limun tak sekeras minuman bersoda yang menggunakan bahan campuran gula dan bubuk soda.
Produksi limun beruapnya kemudian diberi merk Cap Nyonya. Dalam rentang puluhan tahun, ada pasang dan surut yang mereka lalui. Tahun 1970-an disebut sebagai masa kejayaan Limun Cap Nyonya. Saat hari raya Lebaran tiba, bisa dipastikan tiap lemari pendingin warga Pekalongan selalu dipenuhi oleh botol-botol aneka rasa dari Limun Cap Nyonya.
Puluhan karyawan pabrik pernah dikerahkan untuk memproduksi seratus hingga tiga ratus kerat dalam sehari (satu kerat sama dengan 24 botol). Angka produksi yang terbilang sangat besar untuk pabrik rumahan kala itu. Logo yang mereka gunakan dan varian rasa juga beberapa kali mengalami perubahan dari generasi ke generasi dengan maksud supaya terus menarik perhatian pembelinya.
Sementara tahun 1990-an justru bisa dibilang masa tersulit bagi Pabrik Limun Oriental. Minuman bersoda yang meramaikan pasar mulai menggeser popularitas limun beruap. Jika tidak berkukuh dengan pelestarian warisan leluhur, mungkin saja penerusnya akan lengah dan menyerah. Beruntung pada tahun 2000-an, Njo Kiem Nio atau akrab disapa Anna sebagai generasi keempat dibantu oleh anak-anaknya berhasil bangkit dengan strategi pemasaran baru, namun tetap mempertahankan rasa serta kualitas limun seperti sediakala.
Setelah mas Trias mendapat izin dari pengelola Limun Oriental, kami bertiga pun bergegas masuk ke dalam pabrik. Tumpukan kerat botol kosong dan bak-bak berukuran besar menjadi pemandangan awal yang saya lihat. Salah satu karyawan di sana yang bernama Kundari menjelaskan bahwa bak tersebut difungsikan sebagai tempat perendaman botol-botol limun bekas pakai yang sudah disikat sampai bersih.
Proses berikutnya akan dilakukan penyemprotan terhadap botol-botol yang telah berdiri dalam posisi lubang botol menghadap ke bawah. Kucuran air cukup deras akan menyemproti seluruh permukaan bagian dalam agar kotoran yang masih menempel segera luruh. Kemudian botol-botol yang sudah steril itu dioper ke ruang laboratorium untuk diisi campuran resep sitrun, penguat rasa, dan bahan yang lain.
Yang paling berkesan bagi saya adalah melihat langsung bagaimana proses pengisian uap hasil olahan karbondioksida yang dialirkan melalui selang panjang dari tabung menuju mesin pengisian limun. Semua proses dilakukan secara konvensional dengan alat-alat yang terbilang sangat sederhana. Tekanan dari gas karbondioksida menimbulkan suara berdesis. Diikuti kerja mesin pengisian dan mesin tutup botol yang menghasilkan bunyi saling bersahut-sahutan. Ibarat berdiri di tengah panggung orkestra ala pabrik limun.
Total ada lima karyawan yang bekerja di ruang tersebut. Dua orang berdiri di depan dua buah mesin pengisian limun, dua lainnya duduk di depan alat press pemasangan tutup botol. Mereka terlihat saling mengoper botol. Jika busa naik berlebihan, botol akan diguncang sedikit agar sisa busa muncrat keluar. Setelah itu baru diserahkan ke bagian penutupan botol. Karyawan kelima bertugas mengangkat kerat botol berisi larutan sitrun, serta memindahkan kerat yang sudah selesai melewati proses akhir. Limun pun siap diedarkan.
Puas menyaksikan proses pembuatan limun, saya pun langsung terhenyak dalam kursi busa empuk di kafe teras depan pabrik. Kafe yang dihiasi perabot jadul berhasil menumbuhkan atmosfir yang positif. Bahkan saking betahnya, keesokan harinya saya menyempatkan diri kembali lagi ke sana untuk limundar atau limun darat dengan salah satu kawan blogger bernama Bayu Taufani yang sebelumnya hanya bersua di dunia maya.
Di kafe yang beralamat di Jalan Rajawali Utara no.15, para pengunjung bisa mencicipi langsung aneka rasa hasil akhir produksi Limun Oriental Cap Nyonya yang legendaris itu. Harga perbotol Limun Oriental hanya Rp5.000 kalau diminum di tempat. Jika botol dibawa pulang berarti pelanggan harus membayar Rp7.000 perbotolnya. Turut disediakan pula aneka snack ringan seperti kacang goreng dan keripik yang diletakkan dalam toples kaca di atas meja sebagai camilan pendamping ketika limundar.
Enam rasa limun ditawarkan oleh mereka. Bisa pilih rasa apa saja sesuai selera masing-masing. Mulai dari rasa framboze berwarna merah, rasa jeruk warna oranye, limun rasa mocha warna kecoklatan. Kemudian limun nanas yang memiliki warna kuning keemasan, rasa sirsak berwarna hijau muda, dan rasa lemon lime (rasa baru dengan warna hijau). Terakhir ada limun soda tawar yang sering digunakan sebagai pelengkap minuman soda gembira.
Limun Oriental buka hari Sabtu – Kamis jam 08.00 – 16.00 WIB ( Jum’at dan hari besar libur). Info pemesanan bisa menghubungi nomor: 0285 – 421385/ 081901470887 atau cek IG @limunoriental.
Jadi jangan tanya lagi bagaimana segarnya rasa dari limun, apalagi serunya limun darat di sana! Datang dan rasakan sendiri saja.
Segarnya Limun Oriental, Minuman Jadoel Pekalongan
Reviewed by Jelajah Pekalongan
on
Juli 30, 2018
Rating:
Tidak ada komentar: